Selasa, 21 September 2010

Marawis ROHIS SMAN 23

SEGENGGAM GARAM

Teman, aku punya dua buah kisah yang mungkin menarik untukmu...

Ini kisah yang pertama

Ada seorang tua yang bijak. Suatu pagi ia kedatangan anak muda . langkahnya gontai, air mukanya ruwet. Ia seperti sedang dirundung masalah. Anak muda itu menumpahkan semua maslahnya. Pak tua yang bijak mendengarkan dengan seksama.. Setelah tamunya tuntas bercerita, tiba tiba orang tua itu mengambil segenggam garam dan meminta tamunya utnuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu ke dalam gelas. Diaduknya perlahan.
Minum dan katakan bagaimana rasanya!” kata pak tua itu singkat.
”Puih...!” Sang tamu meludah ke samping. ”Asyin sekali! Tenggorokanku seperti tercekik,’ kata si pemuda itu lagi. Pak tua itu tersenyum. Ia lalu mengajak tamunya ketepian telaga di dalam hutan tak jauh dari tempat tinggalnya. Pak tua itu menaburkan segenggam garam ke dalam telaga. Dengan sepotong kayu diaduknya telaga itu.
”Ambil air dari telaga ini dan minumlah!” Setelah si pemuda selesai meneguk air itu pak tua bertanya, ”Bagaimana rasanya?” Segar , jawab pemuda itu. ”Apakah kamu merasakam garam di dalam air tiu?” ”Tidak”.

Pak tua itu tersenyum bijak. Ia menepuk punggung si pemuda dengan lembut. Dibimbingnya anak muda itu duduk bersimpuh di sisi telaga.

”Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan adalah layak segenggam garam. Tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahitnya sama, dan memang akan tetap sama,” tutur pak tua.
”Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki, Kepahitan itu akan terasa tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”

Pak tua itu menatap si pemuda lembut. ”Hatimu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas. Buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan dan mengubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.” Setelah itu keduanya beranjak pulang.

Hari ini mereka sama sam belajar. Pak tua bijak itu kembali menyimpan, ”Segenggam garam” untuk anak muda lain yang mungkin datang membawa keresahan jiwa.

Teman, ini yang kedua.

Kisah tentang dua buah bibit.

Ada dua buah bibit tanaman terhampar di sebuah ladang yang subur. Bibit pertama berkata, ”Aku ingin tumbuh besar. Aku ingin menghujamkan akarku dalam dalam di tanah ini. Aku ingin menjulangkan tunas-tunasku ke angkasa. Aku ingin tunasku menyampaikan salam musim semi. Aku ingin merasakan kehangatan matahari dan kelembuatan embun pagi di pucuk pucuk daunku.” Dan, bibit itu tumbuh.

Bibit yang kedua, bergumam, ”Aku takut jika kutanamkan akarku ke dalam tanah ini, aku tak tahu, apa yang akan kutemui di bawah sana. Bukankah disana sangat gelap?” Dan jika kuteroboskan tunasku ke atas bukankah nanti keindahan tunas-tunasku akan hilang? Tunasku ini pasti akan terkoyak. Apa yang akan terjadi jika tunasku terbuka dan siput mencoba memakannya? Dan pasti jika aku tumbuh dan merekah, semua anak kecil akan berusaha untuk mencabutku dari tanah. Tidak! Akan lebih baik jika aku menunggu sampai semuanya aman.”
Dan bibit itupun menunggu dalam kesendirian.

Beberapa pekan kemudian seekor ayam mengais tanah dan menemukan bibit kedua tadi. Ayam itu mencaploknya segera.

(Irfan Toni Helambang dalam Buku Kekuatan Cinta)

PENDAKI

Seorang pendaki gunung sedang bersiap-siap melakukan perjalanan. Di punggungnya, ada ransel dan beragam carabiner (pengait). Tak lupa tali-temali tersusun melingkar di sela-sela bahunya. Pendakian kali ini cukup berat. Jadi, persiapannya harus lebih lengkap.

Kini, dihadapan pendaki itu menjulang sebuah gunung yang tinggi. Puncaknya tak terlihat. Tertutup salju yang putih. Awan yang berarak disekitarnya, membuat tak seorangpun tahu apa yang tersembunyi di sana.
Mulailah pendaki itu melangkah, menapaki jalan-jalan bersalju yang terbentang di hadapannya. Tongkat berkait yang disandangnya menancap setiap kali ia mengayunkan langkah.

Setelah beberapa jam berjalan, mulailah ia menghadapi dinding yang terjal. Tak mungkin baginya untuk terus melangkah. Dipersiapkannya tali-temali dan pengait di punggungnya. Tebing itu terlalu curam. Ia harus mendaki dengan tali-temali itu. Setelah beberapa kait ditancapkan, tiba-tiba terdengar gemuruh datang dari atas. Astaga, ada badai salju datang tanpa diundang!

Longsoran salju meluncur deras. Menimpa tubuh sang pendaki. Bongkah-bongkah salju yang mengeras terus berjatuhan disertai deru angin yang membuat tubuhnya terhempas ke arah dinding.
Badai itu terus berlangsung selama beberapa menit. Namun, untunglah, tali-temali dan pengait telah menyelamatkan tubuhnya dari dinding yang curam itu. Semua perlengkapannya hilang. Hanya tersisa sebilah pisau di pinggangnya. Sang pendaki, itu tergantung terbalik di dinding yang terjal itu.

Pandangannya kabur, semua tampak memutih. Ia tak tahu di mana berada. Sang pendaki cemas, Ia berkomat-kamit memohon doa kepada Tuhan agar diselamatkan dari bencana. Mulutnya terus bergumaman, berharap ada pertolongan yang datang.

Suasana hening setelah badai. Ditengah kepanikan itu, terdengar suara hati kecilnya yang menyuruhnya melakukan sesuatu. ”potong tali itu! potong tali itu!” Terdengar senyap melintasi telinganya. Sang pendaki bingung, apakah ini perintah dari Tuhan?” Apakah suara ini adalah pertolongan dari Tuhan? Tapi bagaimana mungkin, memotong tali yang telah menyelamatkannya, sementara dinding itu begitu terjal? Pandanganku terhalang oleh salju ini, bagaiman aku bisa tahu ?
Banyak sekali pertanyaan dalam dirinya. Lama ia ragu untuk mengambil keputusan. Lama, Ia tak mengambil keputusan apa-apa.

Beberapa minggu kemudian, seorang pendaki menemukan tubuh tergantung terbalik di sebuah dinding terjal. Tubuh itu beku. Tampaknya ia meninggal karena kedinginan. Sementara, batas tubuh itu dengan tanah berjarak 1 meter saja!

Teman, kita mungkin akan berkata, betapa bodohnya pendaki itu karena tak mau menuruti kata hatinya. Kita mungkin akan menyesalkan tindakan pendaki itu yang tak mau memotong saja tali pengaitnya. Pendaki itu tentu akan selamat dengan membiarkan dirinya jatuh ke tanah yang hanya berjarak 1 meter. Ia tentu tak harus mati kedinginan.

Begitulah, kadang kita berpikir mengapa Allah tampak tak melindungi hamba-NYA? Kita mungkin sering merasa mengapa ada banyak sekali beban, masalah, hambatan, yang kita hadapi dalam mendaki jalan kehidupan ini. Kita sering mendapati ada banyak sekali badai salju yang terus menghantam tubuh kita. Mengapa tak disediakan saja jalan lurus tanpa perlu menanjak agar kita terbebas dari semua halangan itu ?

Namun, Teman, cobaan yang diberikan Allah buat kita adalah latihan. Hanya ujian. Kita adalah layaknya besi-besi yang ditempa. Kita adalah seperti pisau – pisau yang terus diasah. Sesungguhnya, di semua ujian dan latihan itu tersimpan petunjuk. Ada tersembunyi tanda-tanda, asal kita percaya. YA, ASAL KITA PERCAYA.

Seberapa besar rasa percaya kita kepada Allah Azza wa Jalla, sehingga mampu membuat kita memututuskan ”memotong tali pengait” saat tergantung terbalik ? Seberapa besar rasa percaya kita kepada Allah hingga kita menyerahkan semua yang ada pada diri kita kepada-NYA?

Teman, percayalah.. Akan ada petunjuk-petunjuk Allah dalam setiap lamgkah kita menapaki jalan kehidupan ini. Carilah, gali dan temukan rasa percaya itu dalam hatimu. Sebab, saat kita telah percaya maka petunjuk itu akan datang dengan tanpa disangka.

(Irfan Toni Herlambang)
 

Followers

Blogger Tricks

free counters