Minggu, 17 Juli 2011

Write down...! Menulislah...

1. Menulis adalah mengikat jejak pemahaman. Akal kita sebagai kurniaNya, begitu agung dayanya menampung sedemikian banyak data-data. 
2. Tapi kita kadang kesulitan memanggil apa yang telah tersimpan lama; ilmu dahulu itu berkeliaran & bersembunyi di jalur rumit otak. 
3. Maka menulis adalah menyusun kata kunci tuk buka khazanah akal; sekata tuk sealinea, sekalimat tuk se-bab, separagraf tuk sekitab.
4. Demikianlah kita fahami kalimat indah Asy Syafi’i; ilmu adalah binatang buruan, & pena yang menuliskan adalah tali pengikatnya.
5. Menulis juga jalan merekam jejak pemahaman; kita lalui usia dengan memohon ditambah ilmu & dikaruniai pengertian; adakah kemajuan? 
6. Itu bisa kita tahu jika kita rekam sang ilmu dalam lembaran; kita bisa melihat perkembangannya hari demi hari, bulan demi bulan. 
7. Jika tulisan kita 3 bulan lalu telah bisa kita tertawai; maka terbaca adanya kemajuan. Jika masih terkagum juga; itu menyedihkan. 
8. Lebih lanjut; menulis adalah mengujikan pemahaman kepada khalayak; yang dari berbagai sisi bisa memberi penyeksamaan & penilaian. 
9. Kita memang membaca buku, menyimak kajian, hadir dalam seminar & sarasehan; tapi kebenaran pemahaman kita belum tentu terjaminkan. 
10. Maka menulislah; agar jutaan pembaca menjadi guru yang meluruskan kebengkokan, mengingatkan keterluputan, membetulkan kekeliruan. 
11. Penulis hakikatnya menyapa dengan ilmu; maka ia berbalas tambahan pengertian; kian bening, kian luas, kian dalam, kian tajam. 
12. Agungnya lagi; sang penulis merentangkan ilmunya melampaui batas-batas waktu & ruang. Ia tak dipupus usia, tak terhalang jarak. 
13. Adagium Latin itu tak terlalu salah; Verba Volant, Scripta Manent. Yang terucap kan lenyap tak berjejak, yang tertulis mengabadi. 
14. Tapi bagi kita, makna keabadian karya bukan hanya soal masyhurnya nama; ia tentang pewarisan nilai; kemaslahatan atau kerusakan. 
15. Andaikan benar bahwa Il Principe yang dipersembahkan Niccolo Machiavelli pada Cesare de Borgia itu jadi kawan tidur para tiran… 
16. ..seperti terisyu tentang Napoleon, Hitler, & Stalin; akankah dia bertanggungjawab atas berbagai kezhaliman nan terilham bukunya?
17. Sebab bukan hanya pahala yang bersifat ‘jariyah’; melainkan ada juga dosa yang terus mengalir. Menjadi penulis adalah pertaruhan.
18. Mungkin tak separah Il Principe; tapi tiap kata yang mengalir dari jemari ini juga berpeluang menjadi keburukan berrantai-rantai. 
19. Dan bahagialah bakda pengingat; huruf bisa menjelma dzarrah kebajikan; percikan ilhamnya tak putus mencahaya sampai kiamat tiba.
20. Lalu terkejutlah para penulis kebenaran, kelak ketika catatan amal diserahkan, “Ya Rabbi, bagaimana bisa pahalaku sebanyak ini?”
21. Moga kelak dijawabNya, “Ya, amalmu sedikit, dosamu berbukit; tapi inilah pahala tak putus dari ilham kebajikan nan kau tebarkan.” 
22. Tulisan sahih & mushlih; jadi jaring yang melintas segala batas; menjerat pahala orang terilham tanpa mengurangi si bersangkutan. 
23. Menulis juga bagian dari tugas iman; sebab makhluq pertama ialah pena, ilmu pertama ialah bahasa, & ayat pertama berbunyi “Baca!” 
24. Tersebut di HR Ahmad & ditegaskan Ibn Taimiyah dalam Fatawa, “Makhluq pertama yang diciptaNya ialah pena, lalu Dia berfirman… 
25. ..”Tulislah!” Tanya Pena; “Apa yang kutulis, Rabbi?” Kata Allah; “Tulis segala ketentuan yang Kutakdirkan bagi semua makhluqKu.” 
26. Adapun ilmu yang diajarkan pada Adam & membuatnya unggul atas malaikat nan lalu bersujud adalah bahasa; kosa kata. (QS 2: 31) 
27. Dan “Baca!”; wahyu pertama. Bangsa Arab nan mengukur kecerdasan dari kuatnya hafalan hingga memandang rendah tulis-baca , tiba-tiba meloncat ke ufuk, jadi guru semesta. 
29. Muhammad hadir bukan dengan mu’jizat yang membelalakkan; dia datang dengan kata-kata yang menukik-menghunjam, disebut ‘Bacaan’.
30. Maka Islam menjelma peradaban Ilmiah, dengan pena sebagai pilarnya; wawasan tertebar mengantar kemaslahatan ke seantero bumi. 
31. Semoga Allah berkahi tiap kata yang mengalir dari ujung jemari kita; sungguh, buku dapat menggugah jiwa manusia & mengubah dunia. 
32. Bagaimana sebuah tulisan bisa mengilhami; tak tersia, tak jadi tragika, & tak menjatuhkan penulisnya dalam gelimang kemalangan? 
33. Saya mencermati setidaknya ada 3 kekuatan yang harus dimiliki seorang penulis menggugah; Daya Ketuk, Daya Isi, & Daya Memahamkan.
34. Daya Ketuk ini paling berat dibahas; yang mericau ini pun masih jauh & terus belajar. Ia masalah hati; terkait niat & keikhlasan. 
35. Pertama, marilah jawab ini: 1) Mengapa saya harus menulis? 2) Mengapa ia harus ditulis? 3) Mengapa harus saya yang menuliskannya? 
36. Seberapa kuat makna jawaban kita atas ke-3 tanya ini, menentukan seberapa besar daya tahan kita melewati aneka tantangan menulis.
37. Alasan kuat tentang diri, tema, & akibat dunia-akhirat jika tak ditulis; akan menggairahkan, menggerakkan, membakar, menekunkan. 
38. Keterlibatan hati & jiwa dengan niat menyala itulah yang mengantarkan tulisan ke hati pembaca; mengetuk, menyentuh, menggerakkan. 
39. Tetapi; tak cukup hanya hati bergairah & semangat menyala saja jika yang kita kehendaki adalah keinsyafan suci di hati pembaca. 
40. Menulis memerlukan kata yang agung & berat itu; IKHLAS. Kemurnian. Harap & takut hanya padaNya. Cinta kebenaran di atas segala. 
41. Allah gambarkan keikhlasan sejati bagai susu; terancam kotoran & darah, tapi terupayakan; murni, bergizi, memberi tenaga suci… 
42. …dan mudah diasup, nyaman ditelan, lancar dicerna oleh peminum-peminumnya, menjadi daya untuk bertaat & bertaqwa (QS 16: 66).
43. Maka menjadi penulis yang ikhlas sungguh payah & tak mudah, ada goda kotoran & darah, kekayaan & kemasyhuran, riya’ & sum’ah. 
44. Jika ia berhasil dilampaui; jadilah tulisan, ucapan & perbuatan sang penulis bergizi, memberi arti, mudah dicerna jadi amal suci. 
45. Sebaliknya; penulis tak ikhlas itu; tulisannya bagai susu dicampur kotoran & darah, racun & limbah; lalu disajikan pada pembaca.
46. Ya Rabbi; ampuni bengkoknya niat di hati, ampuni bocornya syahwat itu & ini, di tiap kali kami gerakkan jemari menulis & berbagi. 
47. Sebab susu tak murni, tulisan tak ikhlas, memungkinkan 2 hal: a) pembaca muak, mual, & muntah bahkan saat baru mengamati awalnya. 
48. Atau lebih parah: b) pembaca begitu rakus melahap tulisan kita; tapi yang tumbuh di tubuhnya justru penyakit-penyakit berbahaya.
49. Menulis berkeikhlasan, menabur benih kemurnian; agar Allah tumbuhkan di hati pembaca pohon ketaqwaan. Itulah daya ketuk sejati. 
50. Daya sentuh, daya ketuk, daya sapa di hati pembaca; bukan didapat dari wudhu’ & shalat yang dilakukan semata niat menoreh kata.. 
51. …Ia ada ketika kegiatan menghubungkan diri dengan Dzat Maha Perkasa, semuanya, bukan rekayasa, tapi telah menyatu dengan jiwa.. 
52. …lalu menulis itu sekedar 1 dari berbagai pancaran cahaya yang kemilau dari jiwanya; menggenapi semua keshalihan nan mengemuka. 
53. Setelah Daya Ketuk, penulis harus ber-Daya Isi. Mengetuk tanpa mengisi membuat pembaca ternganga, tapi lalu bingung berbuat apa. 
54. Daya Ketuk membuat pembaca terinsyaf & tergugah; tapi jika isi yang kemudian dilahap cacat, timpang, rusak; jadilah masalah baru. 
55. Daya Isi adalah soal ilmu. Mahfuzhat Arab itu sungguh benar; “Fakidusy Syai’, Laa Yu’thi: yang tak punya, takkan bisa memberi.” 
56. Menjadi penulis adalah menempuh jalan ilmu & berbagi; membaca ayat-ayat tertulis; menjala hikmah-hikmah tertebar. Tanpa henti. 
57. Ia menyimak apa yang difirmankan Tuhannya, mencermati yang memancar dari hidup RasulNya; & membawakan makna ke alam tinggalnya. 
58. Dia fahami ilmu tanpa mendikotomi; tapi tetap tahu di mana menempatkan yang mutlak terhadap yang nisbi; mencerahkan akal & hati. 
59. Penulis sejati memiliki rujukan yang kuat, tetapi bukan tukang kutip. Segala yang disajikan telah melalui proses internalisasi. 
60. Penulis sejati kokoh berdalil bukan hanya atas yang tampak pada teks; tapi disertai kefahaman latar belakang & kedalaman tafsir. 
61. Dengan proses internalisasi; semua data & telaah yang disajikan jadi matang & lezat dikunyah; pembacanya mengasup ramuan bergizi. 
62. Sebab konon ‘tak ada yang baru di bawah matahari’; tugas penulis sebenarnya memang cuma meramu hal-hal lama agar segar kembali. 
63. Atau mengungkap hal-hal yang sudah ada, tapi belum luas dikenali. Diperlukan ketekunan untuk melihat 1 masalah dari banyak sisi. 
64. Atau mengingatkan kembali hal-hal yang sesungguhnya telah luas difahami; agar jiwa-jiwa yang baik tergerak kuat untuk bertindak. 
65. Maka dia suka menghubungkan titik temu aneka ilmu dengan pemaknaan segar & baru, dengan tetap berpegang kaidah sahih & tertentu. 
66. Dia hubungkan makna nan kaya; fikih & tarikh; dalil & kisah; teks & konteks; fakta & sastra; penelitian ilmiah & sisi insaniyah. 
67. Dia menularkan jalan ilmu untuk tak henti menggali; tulisannya tak membuat orang mengangguk berdiam diri; tapi kian haus mencari. 
68. Ia bawakan pemaknaan penuh warna; beda bagi masing2 pembaca; beda bagi pembaca sama di saat lainnya. Membaru, mengilhami selalu. 
69. Maka karyanya melahirkan karya; syarah & penjelasan, catatan tepi & catatan kaki, juga sisi lain pembahasan, & bahkan bantahan. 
70. Seorang penulis menggugah memulai Daya Memahamkan-nya dengan 1 pengakuan jujur; dia bukanlah yang terpandai di antara manusia. 
71. Sang penulis sejati juga memahami; banyak di antara pembacanya yang jauh lebih berilmu & berwawasan dibandingkan dirinya sendiri. 
72. Maka dalam hati, dia mencegah munculnya rasa lebih dibanding pembaca: “Aku tahu. Kamu tidak tahu. Maka bacalah agar kuberitahu.”
73. Setiap tulisan & buku yang disusun dengan sikap jiwa penulis “Aku tahu! Kamu tak tahu!” pasti berat & membuat penat saat dibaca.
74. Kadang senioritas atau lebih tingginya jenjang pendidikan tak tersengaja lahirkan sikap jiwa itu. Sang penulis merasa lebih tahu. 
75. Sikap jiwa kepenulisan harus diubah; dari “Aku tahu! Kamu tak tahu!” menjadi suatu rasa nan lebih adil, haus ilmu, & rendah hati. 
76. Penulis sejati ukirkan semboyan, “Hanya sedikit ini yang kutahu, kutulis ia untukmu, maka berbagilah denganku apa yang kau tahu.” 
77. Penulis sejati sama sekali tak berniat mengajari. Dia cuma berbagi; menunjukkan kebodohannya pada pembaca agar mereka mengoreksi. 
78. Penulis sejati berhasrat tuk diluruskan kebengkokannya, ditunjukkan kelirunya, diluaskan pemahamannya, dilengkapi kekurangannya. 
79. Penulis sejati jadikan dirinya seakan murid yang mengajukan hasil karangan pada guru; berribu pembaca menjelma guru berjuta ilmu. 
80. Inilah yang jadikan tulisan akrab & lezat disantap; pertama-tama sebab penulisnya adil menilai pembaca, haus ilmu, & rendah hati. 
81. Pada sikap sebaliknya, kita akan menemukan tulisan yang berribu kali membuat berkerut dahi, tapi pembacanya tak kunjung memahami. 
82. Lebih parahnya; keinginan untuk tampil lebih pandai & tampak berilmu di mata pembaca sering membuat akal macet & jemari terhenti. 
83. Jika lolos tertulis; ianya jadi kegenitan intelektual; inginnya dianggap cerdas dengan banyak istilah yang justru membuat mual. 
84. Kesantunan Allah jadi pelajaran buat kita. RasulNya menegaskan surga itu tak terbayangkan. Tapi dalam firmanNya, Dia menjelaskan. 
85. Dia gambarkan surga dalam paparan yang mudah dicerna akal manusia; taman hijau, sungai mengalir, naungan rindang, buahan dekat.. 
86. ..duduk bertelekan di atas dipan, dipakaikan sutra halus & tebal, pelayan hilir mudik siap sedia, bidadari cantik bermata jeli.. 
87. Allah Maha Tahu, tak bersombong dengan ilmu; Dia kenalkan diriNya bukan sebagai Ilah awal-awal, melainkan Rabb nan lebih dikenal. 
88. Penulis sejati hayati pesan Nabi; bicaralah pada kaum sesuai kadar pemahamannya, bicaralah dengan bahasa yang dimengerti mereka. 
89. Penulis sejati mengerti; dalam keterbatasan ilmu nan dimiliki, tugasnya menyederhanakan yang pelik, bukan merumitkan yang sahaja.
90. Itupun tidak dalam rangka mengajari; tapi berbagi. Dia haus tuk menjala umpan balik dari pembaca; kritik, koreksi, & tambah data.
91. Penulis sejati juga tahu; yang paling berhak mengamalkan isi anggitannya adalah dirinya sendiri. Daya Memahamkan berhulu di sini. 
92. Sebab seringkali kegagalan penulis memahamkan pembaca disebabkan diapun tak memahami apa yang ditulisnya itu dalam amal nyata. 
93. Begitulah Daya Memahamkan; dimulai dengan sikap jiwa yang adil, haus ilmu, & rendah hati terhadap pembaca kita, lalu dikuatkan.. 
94. ..dengan tekad bulat tuk menjadi orang pertama nan mengamalkan tulisan, & berbagi pada pembaca dengan hangat, akrab, penuh cinta. 
95. Kali ini, tercukup sekian ya Shalih(in+at) bincang. Maafkan tak melangkah ke hal teknis, sebab banyak nan lebih ahli tentangnya:)
96. Kita lalu tahu; menulis bukanlah profesi tunggal & mandiri. Ia lekat pada kesejatian hidup sang mukmin; tebar cahaya pada dunia. 
97. Maka menulis hanya salah satu konsekuensi sekaligus sarana bagi si mukmin tuk menguatkan iman, ‘amal shalih, & saling menasehati. 
98. Jika ada ‘amal lain yang lebih kuat dampaknya dalam ketiga perkara itu; maka kita tak boleh

by: Salim A. Fillah

Anak ROHIS “Dahulukan Dakwah, Utamakan Sekolah!”

Nampaknya para pengelola dakwah sekolah sangat perlu mencermati masalah yang satu ini. Penulis teringat ketika, beberapa tahun silam pernah terlibat dalam sebuah kegiatan dakwah sekolah bertajuk“Dahulukan Dakwah, Utamakan Sekolah!”, sebuah tema yang sangat familiar dikalangan ADS (Aktivis Dakwah Sekolah) karena terlalu seringnya kita dawamkan kepada para ADS agar senantiasa menjaga keseimbangan antara aktivitas dakwah dengan tanggungjawab akademis mereka di sekolah. Memang, fenomena klasik berbenturannya aktifitas dakwah dengan tuntutan akademik sudah sejak lama dialami oleh para ADS, bahkan bukan hanya terjadi dalam lingkup dakwah sekolah saja melainkan juga lazim terjadi dalam lingkup dakwah kampus. Ibarat sedang mengarungi lautan, kita anggap saja fenomena ini sebagai sebuah badai yang mau tidak mau harus kita hadapi sebagai sebuah resiko kita dalam mengarungi lautan bernama dakwah sekolah.


Biasanya, fenomena ini akan muncul setiap kali mendekati masa ujian semester, kenaikan kelas dan semakin menjadi dilema bagi ADS tingkat 3 [Kelas XII] yang akan segera berhadapan dengan ujian nasional. Layaknya badai, dampaknya pun begitu nyata terlihat dengan berkurangnya intensitas keaktifan para ADS dari kancah kegiatan dakwah sekolah [Rohis]. Perlahan tapi pasti, berangsur mereka beralih konsentrasi dari mengurusi Rohis ke urusan akademik, karena mereka akan berhadapan dengan ujian akademis dimana harapan besar orangtua agar anaknya meraih prestasi terbaik yang menjadi taruhannya.

Layaknya badai pula, biasanya fenomena ini pun akan segera berlalu seiring dengan berakhirnya momentum ujian-ujian tersebut. Para ADS akan bergairah kembali menghidupkan agenda Rohis hingga kemudian aktifitas dakwah pun perlahan akan kembali membaik seperti sediakala.

Namun, beberapa tahun belakangan nampaknya badai akademis yang menerpa para ADS terlalu besar, hingga begitu sulit menata kembali semangat untuk bangkit menggiatkan agenda-agenda dakwah kembali. Bahkan, Rohis dibeberapa sekolah kini telah benar-benar hilang tersapu badai akademis menyusul para ADS-nya yang telah lebih dulu tenggelam ditelan badai yang sama. Mari kita cermati betapa besar pengaruhnya badai akademis tersebut.

Badai akademis ini dimulai sekitar enam tahun silam ketika pemerintah [Depdiknas, saat itu] memperkenalkan sebuah sistem Ujian Nasional dengan disertai standar nilai tertentu sebagai penentu kelulusan seorang siswa. Terlepas dari segala nilai positif yang coba diwujudkan oleh pemerintah melalui sistem ini, kenyataannya sistem ini menuai banyak reaksi kontra dikalangan masyarakat. Mulai dari banyaknya penyelewengan dalam pelaksanaannya hingga masalah penerapan sistem yang sulit dilakukan secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Alih-alih meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini, justru semakin memperkeruh sistem yang ada. Hingga akhirnya muncullah wacana peniadaan UN yang sempat memanas beberapa waktu lalu, kekisruhan ini untuk sementara berakhir dengan keluarnya peraturan terbaru Kementerian Pendidikan Nasional Nomor 45 tahun 2010 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik Pada tingkat SLTP dan SLTA Tahun Pelajaran 2010/2011 yang menyatakan bahwa UN bukan satu-satunya penentu kelulusan siswa.

Bagaimanapun akhir dari kekisruhan sistem pendidikan tersebut, yang jelas kekisruhan selama lima tahun belakangan ini berdampak sangat signifikan terhadap keberlangsungan dakwah di sekolah. Dengan berlarut-larutnya masalah tersebut telah cukup membuat Dakwah Sekolah kita kalang kabut.Disadari atau tidak, bertambahnya beban akademis yang diberikan kepada pelajar menjadi salahsatu menurunnya performa dakwah sekolah kita beberapa tahun belakangan ini.

Dengan dalih mengejar standar nasional tersebut, mulailah beberapa sekolah menambahkan beban akademis bagi siswanya dengan beragam program yang tentunya membutuhkan waktu dan perhatian yang lebih dari para siswa. Bahkan, di banyak sekolah kini jam sekolah diperketat pengawasannya. Pernah seorang rekan mengalami tindakan “pengusiran” saat melaksnakan mentoring rutin selepas jam pulang sekolah, padahal sebelumnya kegiatan mentoring merupakan kegiatan yang telah sangat lumrah dilakukan di sekolah tersebut, dengan alasan sterilisasi lingkungan sekolah agar para siswa cepat pulang ke rumah dan punya waktu lebih banyak untuk belajar. Kejadian ini ternyata juga dialami oleh beberapa rekan pengelola dakwah di sekolah yang lain, kadang hari Sabtu yang memang di beberapa sekolah telah disepakati sebagai hari kegiatan ekstrakurikuler pun siswa masih dijejali dengan bergam kegiatan akademis tambahan. Kalaupun berjalan, kegiatan ekstrakurikuler biasanya dibatasi hanya sampai pukul 12.00 siang, lagi-lagi dengan alasan peningkatan waktu belajar.

Selain kebijakan pihak sekolah yang semakin over protective, ternyata badai ini juga menyebabkan pola pikir dari para siswa [objek dakwah sekolah] itu sendiri kini berubah menjadi semakin study oriented, termasuk para ADS juga tak luput terkena imbasnya. Objek dakwah yang terlalu study oriented akan menyulitkan kita dalam melakukan rekrutmen-rekrutmen dakwah, karena rasa-rasanya produk dakwah yang kita tawarkan tak mampu mengalihkan perhatian mereka dari beban akademis yang mereka hadapi. Sedangkan, ADS yang terlalu study oriented, akan membuat agenda-agenda dakwah terbengkalai. Namun, kurang bijak pula jika kita memaksa para ADS untuk berkonsentrasi penuh mengurusi dakwah sekolah sementara tanggungjawab akademis hari demi hari semakin berat dibebankan kepada mereka.

Hingga kini, badai akademis terus melanda kita, dan nampaknya belum juga akan mereda. Saudaraku, bagaimanakah kiat terbaik agar Rohis tetap eksis ditengah badai akademis??

(Masih) Tentang Cinta

Sudah berapa banyak mungkin ratusan ribuan, bahkan jutaan hingga milyaran. Kata cinta terlontar dari bibir manusia yang rapuh. Dari mulai presiden hingga pengamen, kaum agamis bahkan atheis pun semua berkata cinta, cinta dan cinta. Akan tetapi tentu berbeda konteks, arti dan makna dari tiap2 person tersebut dalam berbicara mengenai cinta. Seolah-olah dunia ini menjadi bising karena bunyi dari kata cinta tersebut.

Begitu juga demikian halnya dengan banyaknya karya seni yang “mengeksploitasi cinta” sebut saja mulai dari film, lagu, buku, lukisan, cerita rakyat, dan lain-lainya yang memang sudah terlalu banyak untuk dituliskan dalam media yang terbatas ini. Seakan cinta menjadi sebuah tema besar kehidupan (termasuk tema besar status facebook). Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga ini menurut Bang H. Rhoma Irama. Lain lagi dengan Agnes Monica yang bilang bahwa

Cinta ini kadang tak ada logika (bingung). Menurut Afghan bahwa Cinta ku bukan cinta biasa (emang beda biasa sama yang gak biasa, apa Ghan?). Bahkan d’Masiv berbicara bahwa Cinta ini membunuhku (luar biasa!!).

Cinta sudah menjadi industri sekarang ini dan tak dapat dipungkiri bahwa cinta menjadi ladang komersil yang sangat menggiurkan bagi para kaum kapitalis. Diciptakanlah momen-momen yang berkenaan dengan cinta, lalu kemudian dibuat produk-produk cinta tentang cinta tersebut. Para kaum kapitalistik melakukan hal ini juga mengatasnamakan “cinta”. Akan tetapi cinta terhadap kepentingan dan uang yang akan mereka raih atas “pengindustrisasian cinta”. Mereka menjual cinta seperti menjual kacang goreng dikegelapan malam ditengah ramainya acara pesta rakyat 17 Agustusan.

Apakah makna cinta itu? Apakah arti cinta menurut anda?. Setiap orang tentu mempunyai definisi dan tafsiran yang berbeda mengenai cinta. Saya jadi teringat sewaktu masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Guru Bahasa Indonesia saya pernah mengatakan bahwa Cinta itu kepanjangan dari Cerita Ini Nanti Takkan Ada. Aneh memang, tapi ada benarnya juga beliau berkata seperti itu. Kenapa?

Konon pada suatu hari sebuah riset dilakukan oleh seorang ilmuwan. Ia meriset mengenai cinta tentang bagaimana perilaku orang yang terkena cinta dan perlakuan orang-orang terhadap cintanya. Kesimpulan dari Ilmuwan tersebut menyebutkan bahwa pada masa pacaran (zaman keemasan orang berbicara cinta) kebanyakan kaum pria yang berbicara dibandingkan kaum perempuan (merayu dll). Lain lagi ketika pada masa pernikahan ketika mempunyai anak satu atau dua. Giliran kaum perempuan yang lebih banyak berbicara ketimbang kaum laki-lakinya (menuntut hak sebagai istri dan anak-anaknya). Pada fase ketiga (fase klimaks) ketika mempunyai anak lebih dari dua dan seterusnya. Maka kaum laki-laki dan kaum perempuan sama-sama saling berbicara sekuat tenaganya dan berusaha untuk saling mengalahkan satu sama lain. Lalu timbul pertanyaan, siapa yang akan mendengarkan?. Yang akan mendengarkan adalah para tetangga dan anak-anaknya. [^_^]

Berbicara cinta saya juga teringat dengan ungkapan salah satu tetangga saya. Beliau bilang bahwa cinta itu seperti (maaf) buang angin. Ketika ingin dikeluarkan malu, akan tetapi kalau tidak dikeluarkan juga dapat menimbulkan penyakit!!. Dari dua contoh yang saya sebutkan, didalam benak saya, entah kenapa mereka bisa berkata seperti itu?. Mungkin karena pengalaman, guyonan belaka, ataukah memang seperti itu perspektif dan persepsi kebanyakan manusia tentang cinta.

Kenapa manusia sering sakit terhadap cinta? Karena ditinjau dari istilahnya saja, seseorang yang merasakan hebatnya, dahsyatnya, indahnya, manisnya cinta dikatakan bahwa ia sedang “jatuh cinta”. Jika seseorang jatuh baik sengaja maupun tidak sengaja. Maka ia akan merasakan sakit, dan itu pasti tidak bisa tidak untuk menghindarkan kata jatuh dengan kata sakit atau kata yang bermakna sama.

Sedangkan alasan yang kedua adalah karena kita picik dalam memandang cinta. Kebanyakan cara pandang dari manusia picik terhadap cinta itu sendiri. Kenapa kita bisa berkata bahwa Romeo itu orang yang ganteng, tampan plus rupawan. Begitu juga dengan Juliet kenapa kita bisa yakin bahwa ia sosok wanita yang cantik, menarik, yang dapat membuat Romeo melirik.

Begitu pula dengan tokoh-tokoh fiktif mengenai kisah romansa cinta lainnya, seperti Fachry, Maria, dan Aisyah di film ayat-ayat cinta. Atau Isabella Swan dan Edward Cullen di dalam cerita Twilight (heran, setan koq bisa-bisanya ganteng ya??). Di kisah-kisah lama pun seperti tak mau ketinggalan seperti Rahma dan Shinta, Sleeping Beauty, Snow Whites dan lain-lain kesemua tokoh-tokoh utamanya (entah kita yang membayangkan atau narasi ceritanya memang berkata seperti itu) pastilah orang-orang yang mempunyai wajah yang rupawan dan cantik nun jelita.

Malah orang-orang yang menjadi musuhnya bisa dibilang memiliki wajah yang agak kurang dibanding tokoh-tokoh utama tersebut. Seakan-akan tidak ada cinta untuk orang-orang yang tidak tampan atau cantik (walaupun ada yang bilang bahwa rupawan atau tidaknya itu relative, tapi realisasinya yang jelek itu mutlak hukumnya. Hhehe maaf lho kalau yang ini mah bercanda doang).

Kalaupun ada cerita yang tokoh utamanya tidak rupawan. Itu hanya sekedar untuk awalan saja. Toh akhirnya tokoh-tokoh itu akan menjelma berubah menjadi sosok pangeran yang cakep, putri yang cantik dsb,dsb. Seperti Beauty and the Beast, Princes Frog, atau kalau di Indonesia -nya Lutung Kasarung.

Alasan ketiga menurut saya adalah bahwa manusia sekali lagi picik/parsial/juz’iyah dalam mengartikan cinta. Karenanya manusia sering menyandingkan cinta dengan istilah yang menurut saya, aneh. Cinta pertama salah satu contohya. Kebanyakan ketika seseorang ditanya sejak kapan ia mulai merasakan cinta pertama. Kebanyakan mereka selalu menjawab ketika berumur belasan tahun mungkin sekitar 14-18 tahun. Alangkah malang sekali hidup orang-orang ini.

Apakah semenjak umur mereka 0 hari sampai dengan usia tersebut, mereka sama sekali belum pernah merasakan cinta?. Padahal semenjak usia 0 hari mereka itu berada dalam organ manusia didalam perut yang bernama RAHIM (salah satu sifat Allah yang berarti maha penyayang). Apakah benar ia tidak merasakan cinta Tuhannya pada saat itu?. Atau ketika orang tersebut terlahir kedunia, ia pun disambut dengan air mata cinta ibunda dan ayahandanya!!. Sekali lagi, apakah orang itu tidak merasakan cinta kedua orang tuanya ketika peristiwa itu terjadi?.

Cinta monyet. Apakah cinta monyet itu? Manusia berpikir bahwa cinta monyet adalah cinta pada lawan jenis ketika masa kanak-kanak (atau semacamnya –lah). Padahal (lagi-lagi menurut saya) monyet itu adalah binatang (setuju kan)!!. Apakah kita mau menyamakan ketika diri kita kanak-kanak dengan seekor binatang. Cinta binatang justru hanya untuk memuaskan naluri kebinatangannya saja. Jarang saya mendengar bahwa ada pasangan monyet mempunyai komitmen membina sebuah keluarga, punya anak keturunan sampai cucu bahkan cicit dan seterusnya sampai ajal menjemput salah satu dari pasangan monyet tersebut. Pernahkah anda mendengarnya?. Cinta monyet (binatang) ini tak mengenal usia. Mereka-mereka yang terlibat dalam cinta ini, bisa jadi orang yang sudah dewasa dan juga remaja. Banyak juga orang yang menikah secara tak sengaja (by accident) karena cinta monyet (binatang) ini. Cinta monyet sama dengan kumpul kebo kalau menurut saya. Toh mereka itu sama-sama binatang -kan?.

Dan alasan yang keempat adalah manusia sekali lagi picik/parsial/juz’iyah dalam hal mencintai. Manusia makhluk yang tak sempurna akan tetapi juga terlalu menjadi sempurna (berlebihan) untuk mencintai sesuatu yang tidak sempurna. Dalam Al Qur’an Allah telah berfirman yang artinya “Dijadikan indah pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang tertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan dunia, dan di sisi Allah –lah tempat kembali” (QS 3 : 14).

Pandangan manusia menjadi indah ketika melihat hal-hal seperti itu. Dan ini hanya pandangan bahkan terkadang malah hanya menjadi fatamorgana belaka. Salah seorang teman pernah berkata bahwa cinta adalah sebuah penipuan. Karena didalam cinta (masih menurut teman saya) terjadi proses keberpura-puraan untuk menjadi sosok yang terlihat sempurna dihadapan hal-hal yang ia cintai. Manusia menipu dirinya karena cintanya. Padahal Allah –lah tempat kembali. Ini menunjukkan bahwa semua yang sudah disebutkan akan hilang karena ketidak sempurnaannya.

Mencintai hal yang tak sempurna berarti sudah harus siap resiko menerima sakit, kecewa perih, atau kata lain yang bermakna sejenis. Sangat wajar, karena memang apa yang dapat kita harapkan dari hal-hal yang tak sempurna?. Toh semua akan kembali ke Yang Maha Sempurna Allah SWT. Sangatlah aneh jika makhluk yang tak sempurna mengharapkan kesempurnaan dari hal-hal yang sama seperti manusia, yaitu ketidaksempurnaan. Manusia bukan suatu hal yang sempurna, karena secantik-cantiknya atau setampan-tampannya perempuan atau pria. Tetap saja jika ia buang angin (maaf sekali lagi maaf), baunya tetap saja tidak enak!!.
Wa Allahu A'lam Bi Showab

dinarzulakbar_mail@yahoo.com
mukminsehat.multiply.com

Kami Anak ROHIS

Oleh Dinar Zul Akbar

Kami anak ROHIS. Akidah kami bersih terhadap hal-hal yang bersifat magis. Baik itu jimat, wapak, jirim, ataupun keris apalagi penggaris. Pedoman hidup kami adalah Al Quran dan Al Hadits. Kami bukan kalangan alkoholis. Boro-boro untuk berakohol ria, untuk uang jajan pun kami masih mengemis.

Kami anak ROHIS. Ada seorang nenek bernama Sydney Jones yang menuduh kami radikalis. Padahal kami hanyalah sekumpulan aktivis. Tentunya aktivis Islam bukannya aktivis secularis, pluralis, liberalis, apalagi satanis. Kami hanya dapat berharap mudah-mudahan masyarakat tidak termakan isu tersebut yang buat kami menjadi miris.

Kami anak ROHIS. Dandanan kalangan pria kami atau biasa disebut ikhwan umumnya khas dengan jenggot klimis nan tipis. Sedangkan kaum hawa atau akhwatnya biasanya terlihat dengan jilbabnya yang terlihat maksimalis. Tapi hal itu tidaklah mutlak, so santai saja buat para bro n sis.

Kami anak ROHIS. Murobbi kami selalu bercerita bahwa kami adalah pewaris. Pewaris risalah para nabi dan Rasul dari zaman nabi Adam sampai sayyiduna Muhammad SAW Al-Quraisy. Untuk itulah kami dididik menjadi pemuda yang loyalis. Loyalis kepada Allah dan RasulNya serta berlepas dari paham-paham yang tidak Islamis.

Kami anak ROHIS. Bukanlah segerombolan selebritis. Yang kerjaannya update status di jagad virtual agar dibilang eksis. Yang cuman bisa basa-basi kebaikan share pilu, nestapa, atau apa saja hal-hal yang berbau melankolis. Buat kami yang terpenting adalah aksi nyata bukan bualan besar yang manis serta bombastis.
Kami anak ROHIS. Tongkrongan kami jauh dari kafe, mall, bar, diskotik ataupun di halte bis. Biasanya kami paling suka duduk di masjid atau juga di majelis-majelis. Kami selalu menjaga diri kami dari hal-hal yang bersifat najis. Baik najis jasmani ataupun psikis.

Kami anak ROHIS. Kami diajarkan untuk dapat bersifat altruis. Dan membuang jauh-jauh sifat egois. Kami juga diajarkan untuk menjadi golongan yang mukhlis.Tidak mengharapkan imbalan dari manusia yang sifatnya matrialis. Walaupun kadang kali uang jajan kami menjadi habis. Tapi, tak apalah yang penting balasan dari Allah berupa surga lengkap dengan para bidadari’s.

Kami anak ROHIS. Karakter masing-masing kami tidaklah sama seperti halnya kue lapis. Ada yang bawaannya serius, rajin, rapat tidur mulu juga ada, ataupun yang humoris. Akan tetapi kami juga dibekali ilmu untuk selalu bersikap idealis. Jangan jadi orang yang pragmatis plus oportunistis. Takutnya malah jadi orang-orang yang ikut ketularan virus liberalis. Yang kadang kalo ngomong suka bikin mengekerut alis.

Kami anak ROHIS. Pada kesempatan kali ini kami ingin mengatakan bahwa kami bukan teroris. Jangan juga mencap kami sebagai ekstrimis. Hanya di karenakan perubahan tingkah laku kami yang mungkin terlihat agak lebih agamis. Padahal teroris tulen bin sejati adalah para kaum zionis bengis rasis dan kolonialis.

Kami anak ROHIS. Kami juga ditanamkan nilai-nilai zuhud atau bahasa kerennya adalah askestis. Kami juga menjauhi hal-hal yang sifatnya glamoris. Kami berusaha untuk sejauh mungkin tidak menjadi kaum borjuis. Karna khawatir terkena penyakit wahn atau istilah lainnya hedonis.

Kami anak ROHIS. Kami juga manusia bukannya malaikat yang selalu tampil perfeksionis. Tak sedikit pula diantara kami yang takluk terhadap godaan sang iblis. Dan mereka-mereka itu pun episode dakwahnya berakhir dengan sangat tragis. Yang kalau dituliskan di sini dapat membuat mata menangis.

Kami anak ROHIS. Beberapa kami juga diberikan bakat berbisnis Selain bisnis ada juga yang bakat menulis. Dan tulisan ini dibuat bukan untuk sekedar narsis-narsis. Ya, ini hanya dibuat sekedar berbagi tentang profil ROHIS.
 

Followers

Blogger Tricks

free counters