Sabtu, 06 November 2010

The Science of Happiness




Manusia sepanjang umurnya mencari letak, dimanakah bahagia berada. Segala upaya dikerahkan, untuk mencari tahu bagaimana cara mendapatkan kebahagiaan.
Tahun 2004 silam sebuah film dokumenter tentang Imam al Ghazali dirilis di Inggris dan disutradari oleh, Abdul Latif Salazar. Tidak terlalu panjang filmnya, hanya berdurasi sekitar 1 jam 20 menit saja. Dan tentu saja tidak akan pernah mampu merekonstruksi kehidupan Imam al Ghazali yang demikian besar sumbangsihnya pada dunia Islam dan demikian hebat pergumulan pemikiran yang dilaluinya.
Jika ada waktu, Anda bisa mendapatkannya. Download saja dari you tube dengan judul The Alchemist of Happiness. Sebuah film pendek yang sangat menarik, sebuah upaya menemukan kebahagiaan dan arti manusia yang sesungguhnya.
Salah satu scene menceritakan tentang periode Imam al Ghazali yang dirampok di tengah perjalannya. Imam al Ghazali nampak melindungi sebuah kitab di balik jubahnya. Sang perampok yang merasa tertarik mencoba untuk meminta. “Ini tak berharga untukmu,” kata Imam al Ghazali.
“Lalu mengapa kau melindunginya, seperti ia sangat berharga?” tanya sang rampok.
“Karena ia memang sangat berharga. Ilmu pengetahuan dan kumpulan hikmah,” jawab Imam al Ghazali. Lalu sang rampok merebut kitab itu, menebarnya di udara dan angin membawa pergi lembaran-lembaran yang sangat berharga itu.
“Ilmu dan hikmah, letaknya di sini dan sini!” kata sang rampok sambil menunjuk dada dan kepalanya.
Hari itu Imam al Ghazali merasa mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Ia merasa bahwa Allah mengirim khusus sang perampok untuk mengingatkan dirinya. Bahwa memang sepatutnya ilmu dan hikmah berada di dalam dirinya. Bukan di luar, di dalam kitab dan lembaran-lembaran yang banyak jumlahnya. Lalu Imam al Ghazali mulai menghafal semua ilmu yang berhasil dikumpulkan.Tak hanya menghafal, ia juga berusaha sekuat tenaga untuk menjadi ilmu yang mengejawantah.
Imam al Ghazali, menemukan sesuatu yang selama ini ia cari. Tak jauh-jauh, di dalam dirinya sendiri dan menanti untuk ditemukan oleh diri sendiri. Begitu juga dengan kebahagiaan, ia tak pernah jauh. Kebahagiaan hanya perlu ditemukan di dalam diri kita sendiri.
Tentu saja, kebahagiaan bukanlah rumusan terbuat dari, melainkan terdiri atas. Banyak ramuan dan tak pernah tunggal. Dan beberapa di antaranya justru terkesan bertolak belakang. Misalnya saja rasa takut. Betul, sangat kontradiksi. Dan memang kontradiksi, seperti kebahagiaan itu sendiri. Kemana-mana kita mencari, jauh berkelana, tapi ternyata bertemu di dalam diri sendiri.
Dalam salah satu firman-Nya Allah menjelaskan, “…Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Faathir: 28)
Sungguh Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa takut kepada Allah tentulah dia akan berangkat sejak permulaan malam. Dan barangsiapa berangkat di permulaan malam, niscaya akan sampai di tempat tujuan. Ingatlah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu mahal. Dan ingatlah, sesungguhnya barang dagangan Allah itu adalah surga.” (HR Tirmidzi)
Tentu mereka yang berilmu akan lebih tahu, kenapa manusia harus lebih takut kepada Allah SWT. Sebab para ulama mengetahui, seumur hidupnya manusia sedang melakukan transaksi dengan Allah SWT dalam hal pembelian surga. Dan surga, tak pernah murah harganya. Apalagi yang membuat manusia lebih bahagia daripada surga-Nya?
Mereka yang berhak atas surga-Nya adalah mereka yang paling takut kepada-Nya. Karena rasa takut itu, makhluk langit menyintainya. Dan ketika makhluk langit menyintainya, maka seluruh makhluk bumi juga akan menyintainya. Hanya iblis dan para begundalnya yang akan terus membenci dan berusaha mencelakai.
Maka tak heran betapa dahsyat usaha para sahabat nabi memelihara rasa takut kepada Allah di dalam hati dan hidupnya. Ibnu Abbas misalnya, di bawah kelopak matanya terdapat sepasang garis karena bekas air mata yang mengalir terus menerus membasahi pipinya. Umar ibnul Khattab, pernah jatuh sakit setelah membaca ayat-ayat al Qur’an yang berisi kabar hari akhir.
Bahkan Umar ibnul Khattab pernah berkata, “Wahai diri, andai saja aku ini makanan ternak. Andai saja aku menjadi sesuatu yang tak akan ditanya atau disebut lagi. Andai saja ibuku tak pernah melahirkan aku. Andai saja aku seekor unta yang mati karena terlantar di tepi sunga Eufrat. Aku benar-benar takut bila Allah meminta pertanggungjawaban kepada pada hari kiamat nanti.”
Bahkan sirah pernah mencatat, Abu Hurairah pingsan tak sadarkan diri sebanyak tiga kali ketika menceritakan sebuah hadits tentang tiga orang yang mula-mula dibakar oleh api neraka.
Kemana rasa takut itu kini? Hilang dan menguap dari kehidupan kita. Masihkah kita memiliki ketakutan yang sama?
Kita nyaris tak pernah takut. Surga dan neraka, nyaris kita anggap hanya cerita. Berpikir surga dan neraka hanya untuk mereka yang rendah dan tak canggih pemikirannya. Bahkan kita tak dibenarkan memiliki rasa takut pada Allah SWT. Lihat saja, sebuah buku terbit dengan bangga, mencantumkan judul dengan pongah: Beriman Tanpa Rasa Takut.
Apakah hidup seperti ini yang kita cari? Akan kemanakah semua ini mengarah?
Logika dan nalar telah dibalik-putarkan. Yang tak memelihara rasa takut dalam keimanan, disebut jenius dan brilian. Sebaliknya, mereka yang memelihara takut kepada Allah disebut jumud dan ketinggalan.
Ibnu Taimiyah suatu hari pernah berkata tentang hal ini. “Setiap orang yang durhaka kepada Allah adalah orang yang bodoh. Dan setiap orang yang takut kepada Allah adalah orang yang pandai lagi taat.”
Beruntunglah orang-orang yang takut. Karena mereka akan berhati-hati. Berbahagialah orang-orang yang takut. Karena mereka akan mengubah diri dan mempersiapkan bekal yang lebih baik lagi.
Lalu hanya ada sesal bagi mereka yang terbuai dalam lalai. Sebab waktu tak bisa berputar ke belakang dan tak pula bisa dihentikan.
Cinta dunia akan menghalangi hati kita takut kepada Allah. Teman yang buruk juga melunturkan rasa takut kita kepada Allah.
Tentu saja alasan di atas hanya dua di antara seribu, mungkin sejuta penyebab tumpulnya hati kita. Tapi setidaknya kita sudah mampu mengidentifikasi dua penyebabnya. Lalu setelah itu, kita akan mencoba mengucapkan doa yang dipanjatkah Rasulullah saw kepada Rabbnya.
“Ya Allah, anugerahilah kami rasa takut kepada-Mu yang dapat menghalangi antara kami dan kedurhakaan kepada-Mu.” (HR. Tirmidzi)
“Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu untuk selalu takut kepada-Mu. Baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.” (HR. An Nasa’i)
 

Followers

Blogger Tricks

free counters