1. Menulis adalah mengikat jejak pemahaman. Akal kita sebagai kurniaNya, begitu agung dayanya menampung sedemikian banyak data-data.
2. Tapi kita kadang kesulitan memanggil apa yang telah tersimpan lama; ilmu dahulu itu berkeliaran & bersembunyi di jalur rumit otak.
3. Maka menulis adalah menyusun kata kunci tuk buka khazanah akal; sekata tuk sealinea, sekalimat tuk se-bab, separagraf tuk sekitab.
4. Demikianlah kita fahami kalimat indah Asy Syafi’i; ilmu adalah binatang buruan, & pena yang menuliskan adalah tali pengikatnya.
5. Menulis juga jalan merekam jejak pemahaman; kita lalui usia dengan memohon ditambah ilmu & dikaruniai pengertian; adakah kemajuan?
6. Itu bisa kita tahu jika kita rekam sang ilmu dalam lembaran; kita bisa melihat perkembangannya hari demi hari, bulan demi bulan.
7. Jika tulisan kita 3 bulan lalu telah bisa kita tertawai; maka terbaca adanya kemajuan. Jika masih terkagum juga; itu menyedihkan.
8. Lebih lanjut; menulis adalah mengujikan pemahaman kepada khalayak; yang dari berbagai sisi bisa memberi penyeksamaan & penilaian.
9. Kita memang membaca buku, menyimak kajian, hadir dalam seminar & sarasehan; tapi kebenaran pemahaman kita belum tentu terjaminkan.
10. Maka menulislah; agar jutaan pembaca menjadi guru yang meluruskan kebengkokan, mengingatkan keterluputan, membetulkan kekeliruan.
11. Penulis hakikatnya menyapa dengan ilmu; maka ia berbalas tambahan pengertian; kian bening, kian luas, kian dalam, kian tajam.
12. Agungnya lagi; sang penulis merentangkan ilmunya melampaui batas-batas waktu & ruang. Ia tak dipupus usia, tak terhalang jarak.
13. Adagium Latin itu tak terlalu salah; Verba Volant, Scripta Manent. Yang terucap kan lenyap tak berjejak, yang tertulis mengabadi.
14. Tapi bagi kita, makna keabadian karya bukan hanya soal masyhurnya nama; ia tentang pewarisan nilai; kemaslahatan atau kerusakan.
15. Andaikan benar bahwa Il Principe yang dipersembahkan Niccolo Machiavelli pada Cesare de Borgia itu jadi kawan tidur para tiran…
16. ..seperti terisyu tentang Napoleon, Hitler, & Stalin; akankah dia bertanggungjawab atas berbagai kezhaliman nan terilham bukunya?
17. Sebab bukan hanya pahala yang bersifat ‘jariyah’; melainkan ada juga dosa yang terus mengalir. Menjadi penulis adalah pertaruhan.
18. Mungkin tak separah Il Principe; tapi tiap kata yang mengalir dari jemari ini juga berpeluang menjadi keburukan berrantai-rantai.
19. Dan bahagialah bakda pengingat; huruf bisa menjelma dzarrah kebajikan; percikan ilhamnya tak putus mencahaya sampai kiamat tiba.
20. Lalu terkejutlah para penulis kebenaran, kelak ketika catatan amal diserahkan, “Ya Rabbi, bagaimana bisa pahalaku sebanyak ini?”
21. Moga kelak dijawabNya, “Ya, amalmu sedikit, dosamu berbukit; tapi inilah pahala tak putus dari ilham kebajikan nan kau tebarkan.”
22. Tulisan sahih & mushlih; jadi jaring yang melintas segala batas; menjerat pahala orang terilham tanpa mengurangi si bersangkutan.
23. Menulis juga bagian dari tugas iman; sebab makhluq pertama ialah pena, ilmu pertama ialah bahasa, & ayat pertama berbunyi “Baca!”
24. Tersebut di HR Ahmad & ditegaskan Ibn Taimiyah dalam Fatawa, “Makhluq pertama yang diciptaNya ialah pena, lalu Dia berfirman…
25. ..”Tulislah!” Tanya Pena; “Apa yang kutulis, Rabbi?” Kata Allah; “Tulis segala ketentuan yang Kutakdirkan bagi semua makhluqKu.”
26. Adapun ilmu yang diajarkan pada Adam & membuatnya unggul atas malaikat nan lalu bersujud adalah bahasa; kosa kata. (QS 2: 31)
27. Dan “Baca!”; wahyu pertama. Bangsa Arab nan mengukur kecerdasan dari kuatnya hafalan hingga memandang rendah tulis-baca , tiba-tiba meloncat ke ufuk, jadi guru semesta.
29. Muhammad hadir bukan dengan mu’jizat yang membelalakkan; dia datang dengan kata-kata yang menukik-menghunjam, disebut ‘Bacaan’.
30. Maka Islam menjelma peradaban Ilmiah, dengan pena sebagai pilarnya; wawasan tertebar mengantar kemaslahatan ke seantero bumi.
31. Semoga Allah berkahi tiap kata yang mengalir dari ujung jemari kita; sungguh, buku dapat menggugah jiwa manusia & mengubah dunia.
32. Bagaimana sebuah tulisan bisa mengilhami; tak tersia, tak jadi tragika, & tak menjatuhkan penulisnya dalam gelimang kemalangan?
33. Saya mencermati setidaknya ada 3 kekuatan yang harus dimiliki seorang penulis menggugah; Daya Ketuk, Daya Isi, & Daya Memahamkan.
34. Daya Ketuk ini paling berat dibahas; yang mericau ini pun masih jauh & terus belajar. Ia masalah hati; terkait niat & keikhlasan.
35. Pertama, marilah jawab ini: 1) Mengapa saya harus menulis? 2) Mengapa ia harus ditulis? 3) Mengapa harus saya yang menuliskannya?
36. Seberapa kuat makna jawaban kita atas ke-3 tanya ini, menentukan seberapa besar daya tahan kita melewati aneka tantangan menulis.
37. Alasan kuat tentang diri, tema, & akibat dunia-akhirat jika tak ditulis; akan menggairahkan, menggerakkan, membakar, menekunkan.
38. Keterlibatan hati & jiwa dengan niat menyala itulah yang mengantarkan tulisan ke hati pembaca; mengetuk, menyentuh, menggerakkan.
39. Tetapi; tak cukup hanya hati bergairah & semangat menyala saja jika yang kita kehendaki adalah keinsyafan suci di hati pembaca.
40. Menulis memerlukan kata yang agung & berat itu; IKHLAS. Kemurnian. Harap & takut hanya padaNya. Cinta kebenaran di atas segala.
41. Allah gambarkan keikhlasan sejati bagai susu; terancam kotoran & darah, tapi terupayakan; murni, bergizi, memberi tenaga suci…
42. …dan mudah diasup, nyaman ditelan, lancar dicerna oleh peminum-peminumnya, menjadi daya untuk bertaat & bertaqwa (QS 16: 66).
43. Maka menjadi penulis yang ikhlas sungguh payah & tak mudah, ada goda kotoran & darah, kekayaan & kemasyhuran, riya’ & sum’ah.
44. Jika ia berhasil dilampaui; jadilah tulisan, ucapan & perbuatan sang penulis bergizi, memberi arti, mudah dicerna jadi amal suci.
45. Sebaliknya; penulis tak ikhlas itu; tulisannya bagai susu dicampur kotoran & darah, racun & limbah; lalu disajikan pada pembaca.
46. Ya Rabbi; ampuni bengkoknya niat di hati, ampuni bocornya syahwat itu & ini, di tiap kali kami gerakkan jemari menulis & berbagi.
47. Sebab susu tak murni, tulisan tak ikhlas, memungkinkan 2 hal: a) pembaca muak, mual, & muntah bahkan saat baru mengamati awalnya.
48. Atau lebih parah: b) pembaca begitu rakus melahap tulisan kita; tapi yang tumbuh di tubuhnya justru penyakit-penyakit berbahaya.
49. Menulis berkeikhlasan, menabur benih kemurnian; agar Allah tumbuhkan di hati pembaca pohon ketaqwaan. Itulah daya ketuk sejati.
50. Daya sentuh, daya ketuk, daya sapa di hati pembaca; bukan didapat dari wudhu’ & shalat yang dilakukan semata niat menoreh kata..
51. …Ia ada ketika kegiatan menghubungkan diri dengan Dzat Maha Perkasa, semuanya, bukan rekayasa, tapi telah menyatu dengan jiwa..
52. …lalu menulis itu sekedar 1 dari berbagai pancaran cahaya yang kemilau dari jiwanya; menggenapi semua keshalihan nan mengemuka.
53. Setelah Daya Ketuk, penulis harus ber-Daya Isi. Mengetuk tanpa mengisi membuat pembaca ternganga, tapi lalu bingung berbuat apa.
54. Daya Ketuk membuat pembaca terinsyaf & tergugah; tapi jika isi yang kemudian dilahap cacat, timpang, rusak; jadilah masalah baru.
55. Daya Isi adalah soal ilmu. Mahfuzhat Arab itu sungguh benar; “Fakidusy Syai’, Laa Yu’thi: yang tak punya, takkan bisa memberi.”
56. Menjadi penulis adalah menempuh jalan ilmu & berbagi; membaca ayat-ayat tertulis; menjala hikmah-hikmah tertebar. Tanpa henti.
57. Ia menyimak apa yang difirmankan Tuhannya, mencermati yang memancar dari hidup RasulNya; & membawakan makna ke alam tinggalnya.
58. Dia fahami ilmu tanpa mendikotomi; tapi tetap tahu di mana menempatkan yang mutlak terhadap yang nisbi; mencerahkan akal & hati.
59. Penulis sejati memiliki rujukan yang kuat, tetapi bukan tukang kutip. Segala yang disajikan telah melalui proses internalisasi.
60. Penulis sejati kokoh berdalil bukan hanya atas yang tampak pada teks; tapi disertai kefahaman latar belakang & kedalaman tafsir.
61. Dengan proses internalisasi; semua data & telaah yang disajikan jadi matang & lezat dikunyah; pembacanya mengasup ramuan bergizi.
62. Sebab konon ‘tak ada yang baru di bawah matahari’; tugas penulis sebenarnya memang cuma meramu hal-hal lama agar segar kembali.
63. Atau mengungkap hal-hal yang sudah ada, tapi belum luas dikenali. Diperlukan ketekunan untuk melihat 1 masalah dari banyak sisi.
64. Atau mengingatkan kembali hal-hal yang sesungguhnya telah luas difahami; agar jiwa-jiwa yang baik tergerak kuat untuk bertindak.
65. Maka dia suka menghubungkan titik temu aneka ilmu dengan pemaknaan segar & baru, dengan tetap berpegang kaidah sahih & tertentu.
66. Dia hubungkan makna nan kaya; fikih & tarikh; dalil & kisah; teks & konteks; fakta & sastra; penelitian ilmiah & sisi insaniyah.
67. Dia menularkan jalan ilmu untuk tak henti menggali; tulisannya tak membuat orang mengangguk berdiam diri; tapi kian haus mencari.
68. Ia bawakan pemaknaan penuh warna; beda bagi masing2 pembaca; beda bagi pembaca sama di saat lainnya. Membaru, mengilhami selalu.
69. Maka karyanya melahirkan karya; syarah & penjelasan, catatan tepi & catatan kaki, juga sisi lain pembahasan, & bahkan bantahan.
70. Seorang penulis menggugah memulai Daya Memahamkan-nya dengan 1 pengakuan jujur; dia bukanlah yang terpandai di antara manusia.
71. Sang penulis sejati juga memahami; banyak di antara pembacanya yang jauh lebih berilmu & berwawasan dibandingkan dirinya sendiri.
72. Maka dalam hati, dia mencegah munculnya rasa lebih dibanding pembaca: “Aku tahu. Kamu tidak tahu. Maka bacalah agar kuberitahu.”
73. Setiap tulisan & buku yang disusun dengan sikap jiwa penulis “Aku tahu! Kamu tak tahu!” pasti berat & membuat penat saat dibaca.
74. Kadang senioritas atau lebih tingginya jenjang pendidikan tak tersengaja lahirkan sikap jiwa itu. Sang penulis merasa lebih tahu.
75. Sikap jiwa kepenulisan harus diubah; dari “Aku tahu! Kamu tak tahu!” menjadi suatu rasa nan lebih adil, haus ilmu, & rendah hati.
76. Penulis sejati ukirkan semboyan, “Hanya sedikit ini yang kutahu, kutulis ia untukmu, maka berbagilah denganku apa yang kau tahu.”
77. Penulis sejati sama sekali tak berniat mengajari. Dia cuma berbagi; menunjukkan kebodohannya pada pembaca agar mereka mengoreksi.
78. Penulis sejati berhasrat tuk diluruskan kebengkokannya, ditunjukkan kelirunya, diluaskan pemahamannya, dilengkapi kekurangannya.
79. Penulis sejati jadikan dirinya seakan murid yang mengajukan hasil karangan pada guru; berribu pembaca menjelma guru berjuta ilmu.
80. Inilah yang jadikan tulisan akrab & lezat disantap; pertama-tama sebab penulisnya adil menilai pembaca, haus ilmu, & rendah hati.
81. Pada sikap sebaliknya, kita akan menemukan tulisan yang berribu kali membuat berkerut dahi, tapi pembacanya tak kunjung memahami.
82. Lebih parahnya; keinginan untuk tampil lebih pandai & tampak berilmu di mata pembaca sering membuat akal macet & jemari terhenti.
83. Jika lolos tertulis; ianya jadi kegenitan intelektual; inginnya dianggap cerdas dengan banyak istilah yang justru membuat mual.
84. Kesantunan Allah jadi pelajaran buat kita. RasulNya menegaskan surga itu tak terbayangkan. Tapi dalam firmanNya, Dia menjelaskan.
85. Dia gambarkan surga dalam paparan yang mudah dicerna akal manusia; taman hijau, sungai mengalir, naungan rindang, buahan dekat..
86. ..duduk bertelekan di atas dipan, dipakaikan sutra halus & tebal, pelayan hilir mudik siap sedia, bidadari cantik bermata jeli..
87. Allah Maha Tahu, tak bersombong dengan ilmu; Dia kenalkan diriNya bukan sebagai Ilah awal-awal, melainkan Rabb nan lebih dikenal.
88. Penulis sejati hayati pesan Nabi; bicaralah pada kaum sesuai kadar pemahamannya, bicaralah dengan bahasa yang dimengerti mereka.
89. Penulis sejati mengerti; dalam keterbatasan ilmu nan dimiliki, tugasnya menyederhanakan yang pelik, bukan merumitkan yang sahaja.
90. Itupun tidak dalam rangka mengajari; tapi berbagi. Dia haus tuk menjala umpan balik dari pembaca; kritik, koreksi, & tambah data.
91. Penulis sejati juga tahu; yang paling berhak mengamalkan isi anggitannya adalah dirinya sendiri. Daya Memahamkan berhulu di sini.
92. Sebab seringkali kegagalan penulis memahamkan pembaca disebabkan diapun tak memahami apa yang ditulisnya itu dalam amal nyata.
93. Begitulah Daya Memahamkan; dimulai dengan sikap jiwa yang adil, haus ilmu, & rendah hati terhadap pembaca kita, lalu dikuatkan..
94. ..dengan tekad bulat tuk menjadi orang pertama nan mengamalkan tulisan, & berbagi pada pembaca dengan hangat, akrab, penuh cinta.
95. Kali ini, tercukup sekian ya Shalih(in+at) bincang. Maafkan tak melangkah ke hal teknis, sebab banyak nan lebih ahli tentangnya:)
96. Kita lalu tahu; menulis bukanlah profesi tunggal & mandiri. Ia lekat pada kesejatian hidup sang mukmin; tebar cahaya pada dunia.
97. Maka menulis hanya salah satu konsekuensi sekaligus sarana bagi si mukmin tuk menguatkan iman, ‘amal shalih, & saling menasehati.
98. Jika ada ‘amal lain yang lebih kuat dampaknya dalam ketiga perkara itu; maka kita tak boleh
2. Tapi kita kadang kesulitan memanggil apa yang telah tersimpan lama; ilmu dahulu itu berkeliaran & bersembunyi di jalur rumit otak.
3. Maka menulis adalah menyusun kata kunci tuk buka khazanah akal; sekata tuk sealinea, sekalimat tuk se-bab, separagraf tuk sekitab.
4. Demikianlah kita fahami kalimat indah Asy Syafi’i; ilmu adalah binatang buruan, & pena yang menuliskan adalah tali pengikatnya.
5. Menulis juga jalan merekam jejak pemahaman; kita lalui usia dengan memohon ditambah ilmu & dikaruniai pengertian; adakah kemajuan?
6. Itu bisa kita tahu jika kita rekam sang ilmu dalam lembaran; kita bisa melihat perkembangannya hari demi hari, bulan demi bulan.
7. Jika tulisan kita 3 bulan lalu telah bisa kita tertawai; maka terbaca adanya kemajuan. Jika masih terkagum juga; itu menyedihkan.
8. Lebih lanjut; menulis adalah mengujikan pemahaman kepada khalayak; yang dari berbagai sisi bisa memberi penyeksamaan & penilaian.
9. Kita memang membaca buku, menyimak kajian, hadir dalam seminar & sarasehan; tapi kebenaran pemahaman kita belum tentu terjaminkan.
10. Maka menulislah; agar jutaan pembaca menjadi guru yang meluruskan kebengkokan, mengingatkan keterluputan, membetulkan kekeliruan.
11. Penulis hakikatnya menyapa dengan ilmu; maka ia berbalas tambahan pengertian; kian bening, kian luas, kian dalam, kian tajam.
12. Agungnya lagi; sang penulis merentangkan ilmunya melampaui batas-batas waktu & ruang. Ia tak dipupus usia, tak terhalang jarak.
13. Adagium Latin itu tak terlalu salah; Verba Volant, Scripta Manent. Yang terucap kan lenyap tak berjejak, yang tertulis mengabadi.
14. Tapi bagi kita, makna keabadian karya bukan hanya soal masyhurnya nama; ia tentang pewarisan nilai; kemaslahatan atau kerusakan.
15. Andaikan benar bahwa Il Principe yang dipersembahkan Niccolo Machiavelli pada Cesare de Borgia itu jadi kawan tidur para tiran…
16. ..seperti terisyu tentang Napoleon, Hitler, & Stalin; akankah dia bertanggungjawab atas berbagai kezhaliman nan terilham bukunya?
17. Sebab bukan hanya pahala yang bersifat ‘jariyah’; melainkan ada juga dosa yang terus mengalir. Menjadi penulis adalah pertaruhan.
18. Mungkin tak separah Il Principe; tapi tiap kata yang mengalir dari jemari ini juga berpeluang menjadi keburukan berrantai-rantai.
19. Dan bahagialah bakda pengingat; huruf bisa menjelma dzarrah kebajikan; percikan ilhamnya tak putus mencahaya sampai kiamat tiba.
20. Lalu terkejutlah para penulis kebenaran, kelak ketika catatan amal diserahkan, “Ya Rabbi, bagaimana bisa pahalaku sebanyak ini?”
21. Moga kelak dijawabNya, “Ya, amalmu sedikit, dosamu berbukit; tapi inilah pahala tak putus dari ilham kebajikan nan kau tebarkan.”
22. Tulisan sahih & mushlih; jadi jaring yang melintas segala batas; menjerat pahala orang terilham tanpa mengurangi si bersangkutan.
23. Menulis juga bagian dari tugas iman; sebab makhluq pertama ialah pena, ilmu pertama ialah bahasa, & ayat pertama berbunyi “Baca!”
24. Tersebut di HR Ahmad & ditegaskan Ibn Taimiyah dalam Fatawa, “Makhluq pertama yang diciptaNya ialah pena, lalu Dia berfirman…
25. ..”Tulislah!” Tanya Pena; “Apa yang kutulis, Rabbi?” Kata Allah; “Tulis segala ketentuan yang Kutakdirkan bagi semua makhluqKu.”
26. Adapun ilmu yang diajarkan pada Adam & membuatnya unggul atas malaikat nan lalu bersujud adalah bahasa; kosa kata. (QS 2: 31)
27. Dan “Baca!”; wahyu pertama. Bangsa Arab nan mengukur kecerdasan dari kuatnya hafalan hingga memandang rendah tulis-baca , tiba-tiba meloncat ke ufuk, jadi guru semesta.
29. Muhammad hadir bukan dengan mu’jizat yang membelalakkan; dia datang dengan kata-kata yang menukik-menghunjam, disebut ‘Bacaan’.
30. Maka Islam menjelma peradaban Ilmiah, dengan pena sebagai pilarnya; wawasan tertebar mengantar kemaslahatan ke seantero bumi.
31. Semoga Allah berkahi tiap kata yang mengalir dari ujung jemari kita; sungguh, buku dapat menggugah jiwa manusia & mengubah dunia.
32. Bagaimana sebuah tulisan bisa mengilhami; tak tersia, tak jadi tragika, & tak menjatuhkan penulisnya dalam gelimang kemalangan?
33. Saya mencermati setidaknya ada 3 kekuatan yang harus dimiliki seorang penulis menggugah; Daya Ketuk, Daya Isi, & Daya Memahamkan.
34. Daya Ketuk ini paling berat dibahas; yang mericau ini pun masih jauh & terus belajar. Ia masalah hati; terkait niat & keikhlasan.
35. Pertama, marilah jawab ini: 1) Mengapa saya harus menulis? 2) Mengapa ia harus ditulis? 3) Mengapa harus saya yang menuliskannya?
36. Seberapa kuat makna jawaban kita atas ke-3 tanya ini, menentukan seberapa besar daya tahan kita melewati aneka tantangan menulis.
37. Alasan kuat tentang diri, tema, & akibat dunia-akhirat jika tak ditulis; akan menggairahkan, menggerakkan, membakar, menekunkan.
38. Keterlibatan hati & jiwa dengan niat menyala itulah yang mengantarkan tulisan ke hati pembaca; mengetuk, menyentuh, menggerakkan.
39. Tetapi; tak cukup hanya hati bergairah & semangat menyala saja jika yang kita kehendaki adalah keinsyafan suci di hati pembaca.
40. Menulis memerlukan kata yang agung & berat itu; IKHLAS. Kemurnian. Harap & takut hanya padaNya. Cinta kebenaran di atas segala.
41. Allah gambarkan keikhlasan sejati bagai susu; terancam kotoran & darah, tapi terupayakan; murni, bergizi, memberi tenaga suci…
42. …dan mudah diasup, nyaman ditelan, lancar dicerna oleh peminum-peminumnya, menjadi daya untuk bertaat & bertaqwa (QS 16: 66).
43. Maka menjadi penulis yang ikhlas sungguh payah & tak mudah, ada goda kotoran & darah, kekayaan & kemasyhuran, riya’ & sum’ah.
44. Jika ia berhasil dilampaui; jadilah tulisan, ucapan & perbuatan sang penulis bergizi, memberi arti, mudah dicerna jadi amal suci.
45. Sebaliknya; penulis tak ikhlas itu; tulisannya bagai susu dicampur kotoran & darah, racun & limbah; lalu disajikan pada pembaca.
46. Ya Rabbi; ampuni bengkoknya niat di hati, ampuni bocornya syahwat itu & ini, di tiap kali kami gerakkan jemari menulis & berbagi.
47. Sebab susu tak murni, tulisan tak ikhlas, memungkinkan 2 hal: a) pembaca muak, mual, & muntah bahkan saat baru mengamati awalnya.
48. Atau lebih parah: b) pembaca begitu rakus melahap tulisan kita; tapi yang tumbuh di tubuhnya justru penyakit-penyakit berbahaya.
49. Menulis berkeikhlasan, menabur benih kemurnian; agar Allah tumbuhkan di hati pembaca pohon ketaqwaan. Itulah daya ketuk sejati.
50. Daya sentuh, daya ketuk, daya sapa di hati pembaca; bukan didapat dari wudhu’ & shalat yang dilakukan semata niat menoreh kata..
51. …Ia ada ketika kegiatan menghubungkan diri dengan Dzat Maha Perkasa, semuanya, bukan rekayasa, tapi telah menyatu dengan jiwa..
52. …lalu menulis itu sekedar 1 dari berbagai pancaran cahaya yang kemilau dari jiwanya; menggenapi semua keshalihan nan mengemuka.
53. Setelah Daya Ketuk, penulis harus ber-Daya Isi. Mengetuk tanpa mengisi membuat pembaca ternganga, tapi lalu bingung berbuat apa.
54. Daya Ketuk membuat pembaca terinsyaf & tergugah; tapi jika isi yang kemudian dilahap cacat, timpang, rusak; jadilah masalah baru.
55. Daya Isi adalah soal ilmu. Mahfuzhat Arab itu sungguh benar; “Fakidusy Syai’, Laa Yu’thi: yang tak punya, takkan bisa memberi.”
56. Menjadi penulis adalah menempuh jalan ilmu & berbagi; membaca ayat-ayat tertulis; menjala hikmah-hikmah tertebar. Tanpa henti.
57. Ia menyimak apa yang difirmankan Tuhannya, mencermati yang memancar dari hidup RasulNya; & membawakan makna ke alam tinggalnya.
58. Dia fahami ilmu tanpa mendikotomi; tapi tetap tahu di mana menempatkan yang mutlak terhadap yang nisbi; mencerahkan akal & hati.
59. Penulis sejati memiliki rujukan yang kuat, tetapi bukan tukang kutip. Segala yang disajikan telah melalui proses internalisasi.
60. Penulis sejati kokoh berdalil bukan hanya atas yang tampak pada teks; tapi disertai kefahaman latar belakang & kedalaman tafsir.
61. Dengan proses internalisasi; semua data & telaah yang disajikan jadi matang & lezat dikunyah; pembacanya mengasup ramuan bergizi.
62. Sebab konon ‘tak ada yang baru di bawah matahari’; tugas penulis sebenarnya memang cuma meramu hal-hal lama agar segar kembali.
63. Atau mengungkap hal-hal yang sudah ada, tapi belum luas dikenali. Diperlukan ketekunan untuk melihat 1 masalah dari banyak sisi.
64. Atau mengingatkan kembali hal-hal yang sesungguhnya telah luas difahami; agar jiwa-jiwa yang baik tergerak kuat untuk bertindak.
65. Maka dia suka menghubungkan titik temu aneka ilmu dengan pemaknaan segar & baru, dengan tetap berpegang kaidah sahih & tertentu.
66. Dia hubungkan makna nan kaya; fikih & tarikh; dalil & kisah; teks & konteks; fakta & sastra; penelitian ilmiah & sisi insaniyah.
67. Dia menularkan jalan ilmu untuk tak henti menggali; tulisannya tak membuat orang mengangguk berdiam diri; tapi kian haus mencari.
68. Ia bawakan pemaknaan penuh warna; beda bagi masing2 pembaca; beda bagi pembaca sama di saat lainnya. Membaru, mengilhami selalu.
69. Maka karyanya melahirkan karya; syarah & penjelasan, catatan tepi & catatan kaki, juga sisi lain pembahasan, & bahkan bantahan.
70. Seorang penulis menggugah memulai Daya Memahamkan-nya dengan 1 pengakuan jujur; dia bukanlah yang terpandai di antara manusia.
71. Sang penulis sejati juga memahami; banyak di antara pembacanya yang jauh lebih berilmu & berwawasan dibandingkan dirinya sendiri.
72. Maka dalam hati, dia mencegah munculnya rasa lebih dibanding pembaca: “Aku tahu. Kamu tidak tahu. Maka bacalah agar kuberitahu.”
73. Setiap tulisan & buku yang disusun dengan sikap jiwa penulis “Aku tahu! Kamu tak tahu!” pasti berat & membuat penat saat dibaca.
74. Kadang senioritas atau lebih tingginya jenjang pendidikan tak tersengaja lahirkan sikap jiwa itu. Sang penulis merasa lebih tahu.
75. Sikap jiwa kepenulisan harus diubah; dari “Aku tahu! Kamu tak tahu!” menjadi suatu rasa nan lebih adil, haus ilmu, & rendah hati.
76. Penulis sejati ukirkan semboyan, “Hanya sedikit ini yang kutahu, kutulis ia untukmu, maka berbagilah denganku apa yang kau tahu.”
77. Penulis sejati sama sekali tak berniat mengajari. Dia cuma berbagi; menunjukkan kebodohannya pada pembaca agar mereka mengoreksi.
78. Penulis sejati berhasrat tuk diluruskan kebengkokannya, ditunjukkan kelirunya, diluaskan pemahamannya, dilengkapi kekurangannya.
79. Penulis sejati jadikan dirinya seakan murid yang mengajukan hasil karangan pada guru; berribu pembaca menjelma guru berjuta ilmu.
80. Inilah yang jadikan tulisan akrab & lezat disantap; pertama-tama sebab penulisnya adil menilai pembaca, haus ilmu, & rendah hati.
81. Pada sikap sebaliknya, kita akan menemukan tulisan yang berribu kali membuat berkerut dahi, tapi pembacanya tak kunjung memahami.
82. Lebih parahnya; keinginan untuk tampil lebih pandai & tampak berilmu di mata pembaca sering membuat akal macet & jemari terhenti.
83. Jika lolos tertulis; ianya jadi kegenitan intelektual; inginnya dianggap cerdas dengan banyak istilah yang justru membuat mual.
84. Kesantunan Allah jadi pelajaran buat kita. RasulNya menegaskan surga itu tak terbayangkan. Tapi dalam firmanNya, Dia menjelaskan.
85. Dia gambarkan surga dalam paparan yang mudah dicerna akal manusia; taman hijau, sungai mengalir, naungan rindang, buahan dekat..
86. ..duduk bertelekan di atas dipan, dipakaikan sutra halus & tebal, pelayan hilir mudik siap sedia, bidadari cantik bermata jeli..
87. Allah Maha Tahu, tak bersombong dengan ilmu; Dia kenalkan diriNya bukan sebagai Ilah awal-awal, melainkan Rabb nan lebih dikenal.
88. Penulis sejati hayati pesan Nabi; bicaralah pada kaum sesuai kadar pemahamannya, bicaralah dengan bahasa yang dimengerti mereka.
89. Penulis sejati mengerti; dalam keterbatasan ilmu nan dimiliki, tugasnya menyederhanakan yang pelik, bukan merumitkan yang sahaja.
90. Itupun tidak dalam rangka mengajari; tapi berbagi. Dia haus tuk menjala umpan balik dari pembaca; kritik, koreksi, & tambah data.
91. Penulis sejati juga tahu; yang paling berhak mengamalkan isi anggitannya adalah dirinya sendiri. Daya Memahamkan berhulu di sini.
92. Sebab seringkali kegagalan penulis memahamkan pembaca disebabkan diapun tak memahami apa yang ditulisnya itu dalam amal nyata.
93. Begitulah Daya Memahamkan; dimulai dengan sikap jiwa yang adil, haus ilmu, & rendah hati terhadap pembaca kita, lalu dikuatkan..
94. ..dengan tekad bulat tuk menjadi orang pertama nan mengamalkan tulisan, & berbagi pada pembaca dengan hangat, akrab, penuh cinta.
95. Kali ini, tercukup sekian ya Shalih(in+at) bincang. Maafkan tak melangkah ke hal teknis, sebab banyak nan lebih ahli tentangnya:)
96. Kita lalu tahu; menulis bukanlah profesi tunggal & mandiri. Ia lekat pada kesejatian hidup sang mukmin; tebar cahaya pada dunia.
97. Maka menulis hanya salah satu konsekuensi sekaligus sarana bagi si mukmin tuk menguatkan iman, ‘amal shalih, & saling menasehati.
98. Jika ada ‘amal lain yang lebih kuat dampaknya dalam ketiga perkara itu; maka kita tak boleh
by: Salim A. Fillah
0 Responses to “Write down...! Menulislah...”
Posting Komentar