Keurgensian ilmu pengetahuan terangkum dalam seruan Allah SWT kepada umat manusia untuk senantiasa membaca, menelaah, dan berpikir positif. Dia berfirman:
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar manusia dengan perantara kalam (alat tulis baca). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”(QS. al-Alaq [96]:1-5)
Objek dari ilmu pengetahuan yang diserukan Al-Qur’an tidak disebutkan secara eksplisit, karena ia melihat tujuan utama dari setiap disiplin ilmu, yaitu mengungkap tanda-tanda keberadaan dan keagungan Allah SWT.
Mahasiswa kedokteran mempelajari ilmu kedokteran supaya mampu menangkap sinyal-sinyal dari manifestasi nama-Nya, as-Syafi’ (Yang Maha Pemberi Kesembuhan). Sekolah teknik kejuruan mengajarkan mekanisme kerja mesin, arsitektur bangunan, dan keterampilan khusus serta operasional satuan kerja di lapangan, supaya mereka dapat mengetahui perwujudan nama-Nya, al-Muqaddir (Yang Maha Tahu dalam Menentukan kadar sesuatu). Jika seorang dokter mampu menyembuhkan penyakit dengan obat dan terapi khusus, maka di sana ada zat Yang Maha Penyembuh, sumber dari segala kesembuhan. Apabila seorang insinyur bangunan dapat membangun gedung bertingkat, dan dengan ketangkasan seorang mekanik merakit kepingan-kepingan besi menjadi benda yang berguna, maka pasti di sana ada Zat Yang Maha Mampu Menciptakan sesuatu dengan kadar dan komposisi tertentu tanpa butuh kepada yang lain, dan tidak dijangkiti rasa lelah dan capek.
Setiap disiplin ilmu bisa dikatakan sebagai ilmu, jika ia memberi hakikat seperti ini. Pelajar yang benar adalah mereka yang mampu mengenal manifestasi nama-nama Allah SWT lewat ilmu yang digelutinya. Ahli sains sejati adalah mereka yang menjadikan alam semesta sebagai laboratorium, tempat dimana mereka menemukan tanda-tanda kekuasaan-Nya.[[1]]
Maka dari itu, sejak awal Al-Qur’an mengangkat derajat orang-orang yang berilmu pengetahuan. Dia berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.. al-Mujadalah [58]: 11)
Orang-orang yang berilmu pengetahuan di sini sebagaimana yang digarisbawahi ayat di atas adalah mereka yang mengedepankan akalnya dalam setiap masalah, tidak mengikuti hawa nafsunya, mendahulukan yang amat penting dari yang penting, punya perencanaan ke depan, bekerja dengan dedikasi tinggi, dan tidak membodohi sesama atau mengeksploitasi seseorang untuk kepentingan pribadi. Hematnya, mereka itu adalah orang-orang yang tahu dimana letaknya kebenaran dan keburukan. Bukankah jarak di antara mereka berdua seperti jaraknya langit dan bumi?
Jika ada yang bertanya: “Kenapa proses pembelajaran sering kali tidak mendatangkan berkah terhadap kehidupan mereka? Dimana letak dari keberhasilan pendidikan yang senantiasa dicari oleh setiap pelajar?”
Saya menjawab: ada beberapa hal yang mendasari keberhasilan pendidikan yang penuh berkah yang mereka tidak miliki, di antaranya:
1. Menjadikan keinginan belajar sebagai kebutuhan pokok
Orang yang menghargai ilmu adalah mereka yang senantiasa tidak ingin lepas dari buku, punya rasa ingin tahu yang kuat, mencari ilmu di manapun ia berada, mendatangi ilmu dan tidak mengharap ilmu yang mendatanginya. Tentunya, ini tidak terwujud kecuali jika rasa ingin tahu telah mendarah daging dalam diri, dan menjadi sebuah kebutuhan tersendiri.
Makna ini tersirat dalam sabda Rasul Saw berikut ini:
“Tuntutlah ilmu pengetahuan, meskipun itu di negeri Cina.” [[2]]
Jika Anda berkata: “kenapa dalam melihat ilmu pengetahuan harus disejajarkan dengan makanan pokok?” maka Jawabannya seperti ini:
“kelangsungan hidup setiap makhluk tergantung kepada makanan, dan tentunya ketahanan fisik ada pada makanan pokok yang wajib dikonsumsi setiap hari. Begitu pula dengan rohani, supaya ia dapat melahirkan ide dan inspirasi untuk mendatangkan kemaslahatan jasmani, maka ia harus membaca dan menelaah. Seseorang bisa bertahan hidup tanpa makan dan minum selama 40 hari, tetapi ia tidak bisa menghabiskan satu hari tanpa berfikir. Olehnya itu, jika pada tenggang waktu tertentu manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, maka pada saat sekarang manusia sepatutnya dikatakan sebagai makhluk penuntut ilmu demi tercapainya kebutuhan rohani dan jasmani secara berimbang.”
Mereka yang punya sikap seperti ini adalah mereka yang tidak membedakan satuan ilmu pengetahuan dari yang lain. Mereka yang menghargai semua guru, karena apa yang mereka sampaikan adalah makanan primer terhadap rohani. Bukankah suatu kebodohan jika menjauhkan diri dari orang yang datang dengan sengaja menyuguhkan dan menyuapi makanan kesukaan kita? Kenapa kita ingin menolak pemberian itu, bukankah hewan sendiri suka disuapi?
Ingatlah! Berkah ilmu tergantung dari sejauh mana kita menghargai ilmu pengetahuan dan orang-orang yang berilmu.
2. Terus menerus belajar
Makanan pokok tidak dikatakan sebagai kebutuhan mendasar jika hanya sekali dimakan saja, tetapi makanan pokok itu adalah makanan yang senantiasa dikonsumsi tiap harinya. Seseorang bisa saja tidak makan krupuk pada hari ini dan hari-hari mendatang, tetapi amat sulit baginya jika tidak makan nasi pada tiap kali mengusir rasa lapar.
Pelajaran menjadi kebutuhan utama, jika dalam diri senantiasa ada dorongan kuat untuk membaca, mengetahui, dan memahami. Bukanlah belajar itu dengan membaca sekali kemudian berhenti karena telah merasa puas, tapi belajar yang benar itu adalah belajar yang tidak pernah mengenal rasa puas, senantiasa haus dengan ilmu, selalu membaca di setiap ada kesempatan. Jika tidak membaca dalam jangka waktu tertentu tercipta dalam diri sebuah keanehan dan rasa tidak nyaman, seperti orang yang merasa lemah akibat tidak makan dan minum.
Para ilmuwan Islam terkemuka telah terbiasa menghabiskan waktu mereka berjam-jam tanpa makan dan minum, hanya karena terbuai oleh indahnya setiap hakikat ilmu pengetahuan yang mereka pahami. Bahkan, di antara mereka yang ditakdirkan masuk penjara meminta agar tidak dipisahkan dengan bukunya, meski ia hanya membawa sehelai pakaian. Itu bukanlah hal yang aneh, karena kepribadian manusia terbentuk dari kebiasaan.
Hemat penulis, seruan itu tersirat dari ayat-ayat yang menganjurkan umat untuk senantiasa memikirkan dan mengungkap rahasia-rahasia Allah SWT di balik setiap penciptaan entitas kehidupan. Al-Qur’an dalam menyeru kepada hal tersebut kerap kali mempergunakan fi’il mudhari (kata kerja yang menunjukkan pekerjaan yang terjadi pada saat sekarang dan masa mendatang). Seperti firman-Nya di bawah ini:
“Maka tidaklah kamu memahaminya?”(QS. al-Baqarah [2]: 44)
Dan firman-Nya juga:
“Maka apakah kamu tidak memikirkannya?” (QS. al-An’am [6]: 50)
serta firman-Nya:
“Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?”(Qs. Yunus [10]: 3)
Dan pastinya, seruan untuk memahami, berpikir, dan mengambil pelajaran senantiasa langgeng sampai hari kiamat.
3. Merendah diri terhadap sesama
Tawadhu’ (rendah diri) merupakan tujuan ilmu, dan pada waktu yang sama dia juga jalan meraih berkah pendidikan. Karena dengan sifat itu, seseorang tidak menganggap remeh ilmu pengetahuan, melihat enteng orang lain, membuang kesombongan dan ego, dan senantiasa melihat dirinya sama dengan yang lain. Orang yang menyombongkan diri dengan pengetahuannya telah berada pada kebodohan dalam keadaan tidak sadar. Apakah yang dapat kita sombongkan dari ilmu itu? Bukankah pada suatu waktu seorang pelajar kadang lupa apa yang pernah dipelajarinya, sementara ia amat yakin bahwa hafalan tersebut senantiasa melekat di benaknya? Bukankah ini pertanda bahwa setiap pelajar hanya dituntut untuk belajar dan berusaha semaksimal mungkin mengetahui, tahu atau tidaknya itu tergantung kepada kebijakan Allah SWT? Bukankah itu sinyal dari kelemahan dan ketidakmampuan kita sebagai hamba, jadi apa lagi yang mesti disombongkan, wahai mereka yang bersikap angkuh dengan ilmunya?
Orang tua murid sering kali melantunkan pepatah ini: “Padi jika menguning merundukkan daun”. Orang yang rendah diri adalah mereka yang tahu jati diri, tidak melihat ada sesuatu kelebihan dalam diri, karena yang memberi isi dan bobot ilmu pengetahuan dalam dirinya adalah Sang Pencipta. Ia hanya tempat air yang siap untuk diisi, dan tidak menutup kemungkinan air itu ada yang tumpah sebagian. Jika perihalnya seperti itu, kenapa kita tidak ingin menundukkan muka, merendah diri terhadap sesama?
Di dalam sifat ini tersimpan kebaikan yang tidak terkira. Jika rendah diri telah menjadi pakaian seseorang, maka ia akan memberi rasa damai, tawakal, dan percaya diri yang luar biasa. Kenapa tidak? Bukankah rendah diri itu sifat para ulama.
Wahai mereka yang berilmu, Berbahagialah! Anda adalah pelanjut perjuangan para nabi-nabi dalam mengemban dakwah Islam, diberikan potensi untuk mengetahui manifestasi nama-nama Allah SWT di alam semesta, diangkat derajatnya di antara hamba-hamba-Nya, dan tentunya, mereka itu meniti jalan kebenaran menuju akhirat. Berbahagialah kalian! Di dunia Anda dimuliakan sesama, di akhirat Anda mendapatkan tempat kehormatan tersendiri di sisi Allah SWT. Olehnya itu, Buanglah jauh, dan kubur mati kesombongan itu, serta tanamkan dalam diri sikap rendah diri! Itulah keberuntungan yang sebenarnya.
Catatan Kaki:
[[1]] Lihat: Bediuzzaman Said Nursi, al-Kalimât, diterjemahkan oleh Ihsan Qashim as-Shalihi, Dar Sozler, cet. 6, 2011, vol. 1, hlm. 173
[[2]]Kebanyakan ahli hadits melemahkan periwayatan ini, dan tidak sah untuk dinisbatkan kepada Rasul Saw. Ia masyhur hanya karena maknanya sangat baik.Syekh Muhammad Darwish al-Hut Berkata: “Ibn Hibban berkata: “hadits ini bathil, tidak punya dasar periwayatan yang sah,” dan Ibn al-Jauzi melemahkannya. An-Nisabûrî dan az-Sahabî berkata: “Tidak ada yang sah periwayatannya (isnad).”” Lihat: Syekh Muhammad Darwish al-Hut, Asnâ al-Mathâlib fi Ahâdîts Mukhtalifah al-Marâtib, Dar al-Kitab al-Arabi,Beirut, cet. 2, hlm. 59
0 Responses to “Apa yang Patut Anda Ketahui sebagai Pelajar Islam”
Posting Komentar